Selasa, Maret 10, 2009

Mengais Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW

Jakarta, 9 Maret 2009

Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati. Tak terasa pula kita telah bertemu kembali dengan peringatan maulid Nabi yang kesekian kalinya. Beragam cara dilakukan orang untuk merayakannya. Nuansanya bergema ke seluruh pelosok. Ada yang menganggapnya mulutan karena banyak makanan, berkah kata orang. Ada pula yang menganggapnya muludan karena menekankan peringatannya.
Mulutan dan muludan memang sangat dekat. Keberkahan banyaknya makanan dan keantusiasan masyarakat terhadap peringatan atau perayaannya. Semuanya seolah-olah ingin menunjukkan kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW. Ada yang rela memanjat pohon yang rantingnya dipenuhi berbagai benda, ada pula yang rela berdesak-desakan berebut gunungan atau telur yang telah didoakan.
Semuanya sudah baik. Akan tetapi, pernahkah kita merenungkan, adakah sesuatu yang paling penting dalam peringatan maulid ini? Dalam berbagai kesempatan mengikuti maulid, mungkin kita diingatkan kembali tentang perjuangan Nabi dan para sahabat. Apakah kita hanya mengenangnya? Atau merasa bangga dengan kejayaan masa lalu? Tentu tidak! Ada yang lebih penting daripada semua itu. Introspeksi diri. Mungkin itu salah satu jawabannya. Mengapa? Karena introspeksi diri tak harus selalu menyambut tahun baru. Salah satu hikmah terpenting maulid Nabi adalah kita mencoba mengintrospeksi diri kita secara jujur. Seberapa besarkah kecintaan kita terhadap Rasulullah? Apa buktinya kita telah mencintai Rasulullah?Apakah kita telah menyerap semangat juang Rasulullah? Apakah kita telah meniru dan meneladani akhlak Rasulullah yang agung?
Mungkin kita semua telah tahu jika kemuliaan Islam tertutup oleh perilaku sebagian umatnya. Ada yang sudah berhaji ternyata koruptor, ada pula yang sedang ramai dibicarakan orang saat ini terlibat aborsi. Mungkin orang-orang intelek akan mengatakan semua tergantung individunya. Haji ada dua, ada yang mabrur dan ada yang mardud. Mabrur yang hajinya diterima Allah dan kebaikannya berkelanjutan. Mardud yaitu haji yang berkelakuan buruk. Akan tetapi, orang-orang awam hanya melihat orang yang menyandang status haji berarti naik status sosialnya, sempurna ibadahnya, santun pula budi pekertinya. Bagaimana mereka memahami semua itu? Setiap kita bisa berdakwah. Berdakwah melalui perilaku kita sehari-hari. Dengan merenungi semua itu, dengan mengais hikmah maulid kali ini, mungkin kita bisa membuktikan kecintaan kita kepada Rasulullah nan agung.
By Vey

Minggu, Maret 01, 2009

SANG PEMIMPIN

West Jakarta, 2 Maret 2009
Menjadi seorang pemimpin itu sulit atau mudah ya? Mungkin beragam jawaban yang akan kita dapatkan. Yang bilang mudah, mungkin dia bilang it's oke, cuma sekedar jabatan. Yang bilang sulit, mungkin karena dia memikirkan beban tanggung jawabnya. Apapun jawabannya, bukankah setiap kita adalah pemimpin? Seorang ayah menjadi pemimpin bagi istrinya, seorang istri menjadi pemimpin bagi rumah tangganya, seorang kakak menjadi pemimpin bagi adik-adiknya. Itulah kepemimpinan dalam skala kecil. Minimal setiap kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri.

Menjadi seorang pemimpin bukanlah hanya sekedar sebuah jabatan yang meningkatkan status sosial dan ekonomi seseorang, tetapi harus diiringi dengan sebuah rasa tanggung jawab. Bukankah orang yang menumpuk-numpuk jabatan tanpa rasa tanggung jawab seperti orang yang memikul kayu bakar dipunggungnya, ditumpuk-tumpuk sampai ia keberatan karena tak sanggup lagi memikulnya?

Kadang menjadi seorang pemimpin yang bertanggung jawabpun masih menemui berbagai hambatan dalam rangka melaksanakan tanggung jawabnya. Beda orang, beda pikiran dan pendapat. Seseorang yang memimpin sekumpulan orang, tentu ia harus belajar memahami orang yang dipimpinnya. Tentu bukan hal mudah memimpin orang-orang dengan berbagai latar belakang. Apa lagi kalau orang yang dipimpinnya itu lebih senior. Rasa gengsi mungkin saja ada. Aku jadi ingat bagaimana Abu Bakar menangis ketika terpilih menjadi khalifah. Bukan menangis karena senang, tetapi takut tidak bisa menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Oleh karena itu, dalam pidatonya ia mau menerima jabatan itu sebagai amanah. Akan tetapi, ia juga minta ditegur ketika melakukan kesalahan dan jangan mengikuti kebijakannya yang menyimpang dari aturan.

Ada yang bilang menjadi seorang pemimpin yang baik harus mendengarkan semua pendapat anak buahnya. Mungkin itu benar, tetapi bukan berarti menuruti semua pendapat itu. Pendapat-pendapat itu dapat dijadikan masukan dalam rangka membuat sebuah keputusan. Aku juga jadi ingat cerita seorang ayah, anaknya dan seekor keledai yang mereka miliki. Suatu saat mereka melakukan sebuah perjalanan panjang. Sang ayah dan anak menaiki keledai itu bersama-sama. Ketika melewati sekumpulan orang, mereka berkata," Kejam sekali kalian, hewan sekecil itu dinaiki berdua!". Sang ayahpun turun, hanya sang anak yang naik ke punggung keledai itu. Merekapun melewati sekumpulan orang. Mereka berkata," Tega sekali anaknya, membiarkan ayahnya berjalan kaki, sedangkan ia naik keledai." Maka turunlah anaknya. Sekarang sang ayah yang naik keledai, anaknya berjalan kaki. Ketika melewati sekumpulan orang, mereka berkata,"Ayah macam apa kamu membiarkan anakmu berjalan kaki, sedangkan engkau naik keledai?" Ayah dan anak itupun berjalan kaki sambil menuntun keledainya. Merekapun melewati sekumpulan orang. Orang-orang itupun berkata,"Bodoh sekali mereka, mereka memiliki keledai tidak dinaiki!" Ayah dan anak itu akhirnya menyadari betapa perlunya memiliki sebuah prinsip ketika melakukan sesuatu yang benar. Mereka boleh mendengarkan pendapat-pendapat itu sebagai masukan dalam melakukan sesuatu yang benar, tanpa ditanggapi dengan rasa amarah.

Kita baru memahami orang lain setelah kita menyimak dan merenungkan apa yang mereka sampaikan. Kita belajar memahami pola pikir mereka. Kita juga belajar menerima saran dan kritik tanpa amarah dan menjadikannya bahan introspeksi diri. Kita juga memerlukan prinsip ketika kita membuat sebuah keputusan, yang terbaik adalah melalui musyawarah. Walau bagaimanapun, manusia tempatnya salah dan lupa. Oleh karena itu, sebagai sesama muslim yang bersaudara, selayaknya saling mengingatkan. Kita mungkin tidak bisa menjadi pemimpin yang sempurna, tetapi kita bisa berusaha menjadi pemimpin yang terbaik. Terbaik di mata manusia, terbaik pula di hadapan Allah.