Berdiri ku di tepi jendela. Mataku terpaku menatap kalender yang terpampang di sampingku. ”Desember..., Dzulhijjah...,”desahku resah. Sesekali menengadah ke atas langit pekat yang menitikkan air matanya rintik-rintik, seolah turut merasakan kegundahanku. Seiring takbir menggema bersahut-sahutan dari masjid ke masjid. Melayang pula ingatanku ke masa beberapa tahun silam, kala masih ada suamiku.
Bulan ini begitu berarti untukku. Desember inilah seharusnya ulang tahun suamiku, kalau dia masih ada. Biasanya aku selalu menyiapkan sesuatu yang spesial untuk suamiku. Bersibuk-sibuk ria mencari resep baru yang kira-kira disukai suamiku, atau berpanjang mata di pasar-pasar mencari benda-benda yang kira-kira diperlukan suamiku. Biasanya pula dia membisikkan ucapan terima kasih penuh haru sambil mengecup keningku dengan lembut. ”Semuanya sudah berlalu...,” bisikku sambil menghela napas panjang.
Lagi, kutatap kalender itu. Desember ini bertepatan dengan hari pernikahanku, seharusnya....
Ingatanku kembali pada hari pernikahanku. Saat itu sama seperti sekarang ini, hujan mengguyur seluruh pelosok ibu kota. Banjir menggenangi ruas- ruas jalan. Saat itu, rombongan kami akan menuju KUA. Hampir semua ruas jalan menuju ke sana terjebak banjir. Kamipun coba mencari-cari jalan alternatif. Eh, malah kami tersesat di jalan perumahan mewah. Kami berputar-putar mencari orang yang dapat memberikan petunjuk jalan. Lama sekali kami menemukan sosok yang bisa ditanyai, belum lagi ketegangan yang menyeruak memenuhi relung-relung hati kami.Berkali-kali mata memandang jam tangan karena waktu perjanjian dengan penghulu sudah lewat. Hmm...rasanya seru sekali saat itu. Berusaha tetap senyum di tengah ketegangan yang memuncak.
Ingatanku kembali pada hari pernikahanku. Saat itu sama seperti sekarang ini, hujan mengguyur seluruh pelosok ibu kota. Banjir menggenangi ruas- ruas jalan. Saat itu, rombongan kami akan menuju KUA. Hampir semua ruas jalan menuju ke sana terjebak banjir. Kamipun coba mencari-cari jalan alternatif. Eh, malah kami tersesat di jalan perumahan mewah. Kami berputar-putar mencari orang yang dapat memberikan petunjuk jalan. Lama sekali kami menemukan sosok yang bisa ditanyai, belum lagi ketegangan yang menyeruak memenuhi relung-relung hati kami.Berkali-kali mata memandang jam tangan karena waktu perjanjian dengan penghulu sudah lewat. Hmm...rasanya seru sekali saat itu. Berusaha tetap senyum di tengah ketegangan yang memuncak.
Lagi, kutatap kalender itu. Bergeser bola mataku pada angka 22. Ya...22 Desember, hari ibu. Hari Ibu yang selalu membuatku semakin merindukan suamiku. Hari ibu yang senantiasa membuat dadaku sesak menahan deraian air mata. Cukuplah sang langit yang mewakili kepedihanku.
Terlintas lagi bayangan suamiku. Semua yang dia lakukan di hari Ibu. Pagi-pagi dia sudah tampak sibuk sekali, mulai dari mencuci piring, mencuci baju, memandikan anak, menyuapi anak,sampai masakpun dia yang melakukannya. Aku tidak boleh membantunya sama sekali. Padahal, yang kutahu dia tak bisa memasak. Aku hanya mengawasinya saja seperti seorang mandor. Ketika masak, dia sudah menyalakan kompor dan meletakkan wajan berisi minyak goreng. Lalu, dia mengambil beberapa siung bawang merah. Dikupasnya bawang merah itu, lalu...langsung diiris-irisnya. Ya ampun, tidak dicuci lagi!Aku hanya diam saja menahan senyum. Suamiku..., suamiku..., demi memanjakan aku dia rela berbuat begitu di hari Ibu.Hari itu aku benar-benar merasa diperlakukan sebagai seorang ratu. Aku benar-benar merasa spesial sekali hari itu. Aku bersyukur memiliki suami seperti dia, karena jarang sekali seorang suami berbuat seperti itu. Terima kasih suamiku. Semoga Tuhanpun memanjakanmu di alam sana seperti engkau memanjakanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar