God, hari ini ada segayung air yang mengendap di dadaku. Sudah ke sekian kalinya aku mengikuti tes tersebut. Hari ini, ternyata aku gagal lagi. Aku merasa sudah melakukan usaha yang maksimal, baik lahir maupun batin.Tak henti doapun kupanjatkan kepada-Mu karena aku selalu ingat Ud'uuniiy astajib lakum(Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kukabulkan). Aku juga ingat bahwa Kau Mahadekat melebihi urat leherku sendiri.Tapi, mengapa Tuhan?hari ini aku malah menggantang kecewa.Padahal, aku tak meminta yng muluk. Aku hanya ingin bisa memberi bukan hanya diberi. Walau bagaimanapun tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Tuhanku, aku tak mau menjadi pengikut aliran sesat yang diciptakan orang yang kecewa karena doanya belum Kau kabulkan.Tuhanku, aku merasa seperti seorang pengemis yang berdoa agar ia bisa bersedekah.Akan tetapi, aku juga masih ingat bagaimana Engkau menunjukkan kepadaku tentang rahasia sebuah doa.
Waktu itu, aku juga tak henti berdoa kepada-Mu agar honor tulisanku segera turun karena simpananku makin menipis.Waktu itu Engkau juga tak menurunkan honorku hingga simpananku habis. Ternyata Engkau baru menurunkan honorku setelah simpananku habis dengan jumlah yang melebihi perjanjianku dengan redaktur.Waktu itu, aku bersyukur ternyata honor itu Kautambahkan dan Kauberikan pada saat aku benar-benar membutuhkan. Entah apa yang terjadi jika honorku Kau turunkan pada saat simpananku masih ada.Tentu honorku habis dan simpananku juga habis.
Aku juga masih ingat waktu aku berpikir akan berdoa agar seorang sahabatku yang sakit segera pulang dari rumah sakit. Ternyata sebelum doaku kupanjatkan, Kau telah mengabulkan keinginanku.
Tuhan, apakah hari ini juga akan menjadi saksi Kau menunda doaku atau menggantinya dengan sesuatu yang melebihi harapanku?
Jumat, November 19, 2010
CURHAT(21 Desember 2007) part 1
Lelaki paruh baya itu menghela napas panjang seolah melepas beban yang begitu berat. Matanya nanar menatap lalu lalang kendaraan yang menyesaki ibu kota. Dia duduk sendirian di sudut halte, tetapi bukan untuk menunggu kendaraan, entah menunggu apa. Begitu selalu yang kulihat sejak aku berangkat kerja dini hari dan kupulang dia masih di sana, duduk merenung entah apa.
Dari hari ke hari selalu kulihat hal yang sama. Sempat terlintas di benakku, mungkinkah ia orang yang sakit jiwa? Tapi rasanya tak mungkin. Pakaian dan badannya tetap terawat apik. Rasa ingin tahuku menyeruak memenuhi relung hatiku. Sampai suatu saat kusempatkan diri menghampirinya.
”Pagi, Pak?”
”Pagi....”
”Maaf, Pak? Siapa yang sedang Bapak tunggu di sini?”
”Maksud Mbak?”
”Maaf loh Pak, saya cuma heran kenapa Bapak selalu duduk di sini sejak saya berangkat kerja sampai saya pulang kerja. Sebenarnya apa yang Bapak lakukan di sini?”
”Mbak wartawan ya? Mau tahu saja urusan orang!”jawabnya sinis. Merah telingaku mendengarnya.
”Maaf loh, Pak. Saya bertanya karena Bapak seumuran Bapak saya. Saya kira Bapak sedang menunggu anaknya, barangkali saya bisa bantu,” kataku agak kesal. Segera saja aku beranjak dari tempat itu.
”Eeh Mbak tunggu! Mungkin memang Mbak yang bisa menolong saya!”cegahnya sambil menarik tasku.
”Maaf,” kali ini suaranya lembut sambil melepaskan tasku.
”Betul Mbak mau menolong saya?”
”Ya, kalau saya bisa. Apa yang bisa saya bantu?”
Dia terdiam sesaat seakan hatinya ragu.
”Apa Bapak perlu uang?”
Hanya gelengan kepala sebagai sebuah jawaban.
”Katakan saja, Pak, jangan ragu atau malu, saya ikhlas menolong Bapak”
Matanya menatap tajam seolah ingin meyakinkan hatinya akan kebenaran ucapanku.
”Saya hanya perlu teman bicara,” jawabnya lirih.
”Maksud Bapak teman curhat?”
Dia hanya mengangguk lemah.
Ya ampun, ni Bapak bengong sendirian cuma mau cari teman curhat? O, my God! Sesulit itukah mencari teman curhat di zaman sekarang? Ataukah semua orang memakai topeng - topeng kepalsuan, sehingga tak ada seorangpun yang dapat dipercaya?Ataukah semua orang sudah tenggelam dalam keegoisan?
”Mbak, Mbak maukan jadi teman curhat saya?”
”Eh, ya,ya, Pak, dengan senang hati,” kutergagap karena sedang asyik dengan pikiranku sendiri.
”Sebenarnya saya masih punya istri, punya anak, Mbak, satu laki-laki, satu perempuan,”ujarnya memulai cerita.
”Tapi, mereka sudah menikah, bahkan sudah punya anak. Mereka sudah punya rumah sendiri. Mereka bekerja di sebuah perusahaan asing di kota Tangerang sana. Tapi, mungkin karena mereka terlalu sibuk, mereka tidak pernah sempat main ke rumah kami, bahkan meneleponpun tidak pernah. Tapi, bukan berarti mereka melupakan kami. Tiap bulan mereka selalu mengirimi kami uang puluhan juta. Awalnya kami senang karena berlimpah harta, apa lagi awalnya kami biasa hidup dengan kesengsaraan, tapi...,” kembali dia menghela napas panjang.
”Kenyataannya, justru harta itu pula yang membawa bencana dalam kehidupan kami,” kembali dia tertunduk diam sesaat seolah menahan sesuatu yang amat berat.
”Maksud Bapak?”tanyaku penasaran.
Lagi-lagi dia hanya menghela nafas seolah begitu sulit mengeluarkan sesuatu yang berkecamuk dalam dadanya.
”Uang kiriman itu kami kumpulkan hingga jumlahnya sangat banyak. Aku dan istriku selalu bersenang-senang setiap hari. Kami berbelanja berbagai barang mewah yang tak pernah kami miliki sebelumnya. Kami juga mencoba berbagai fasilitas yang tak pernah kami rasakan sebelumnya.Hidup kami benar-benar serasa di surga walaupun kami hanya berdua saja, tanpa kehadiran anak dan cucu kami. Tapi, hal itu pulalah yang membuatku lupa diri. Aku telah melupakan kesetiaan istriku yang telah kupinang ketika usianya masih 14 tahun. Begitu lama dia menyertaiku, dalam segala susah dan senangku tanpa ada sedikitpun keluhan yang keluar dari bibirnya. Ah, bodohnya aku! Aku memang benar-benar bodoh!Aku telah berbuat kesalahan besar yang telah begitu menyakitinya. Aku memang laki-laki bodoh!” Ujarnya sambil memukul-mukul kepalanya dengan penuh rasa penyesalan.
Setelah dia agak tenang, akupun kembali bertanya,”Mengapa Bapak merasa bodoh?Apa yang telah Bapak lakukan?”
”Aku telah menyakiti hati istriku yang setia, yang selalu menganggapku sebagai laki-laki sempurna walaupun aku sendiri merasa begitu banyak kekuranganku sebagai suami. Dia wanita yang benar-benar hebat di balik kerapuhannya, dan aku adalah laki-laki lemah yang tidak pantas jadi suaminya,” lagi dia tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
”Maaf Pak, aku masih belum mengerti.”
”Ya, tidak semua orang bisa mengerti persoalanku yang sebesar gunung, bahkan mungkin lebih besar lagi dari sebuah gunung. Gunung yang telah membatu dalam dadaku. Aku tidak menuntut kamu untuk mengerti persoalanku, aku hanya perlu seorang teman yang mau mendengarkan ocehanku. Aku percaya sama kamu, Ndo. Cahaya matamu menunjukkan kejujuranmu. Tidak seperti kebanyakan orang yang hanya mau didengarkan ocehannya tapi tidak mau mendengarkan ocehan orang lain. Orang yang hanya bisa menertawakan kemalangan orang lain sebagai sebuah cerita lucu tapi tidak bisa merasakan sakitnya luka orang yang ditimpa kemalangan itu.”
”Saya akan coba untuk tetap mengerti, Pak. Apa sebenarnya yang telah Bapak lakukan terhadap istri Bapak?”
”Harta..., dengan harta kiriman anak-anakku itulah aku menyakiti istriku. Yang awalnya harta itu kami nikmati bersama, namun harta itu pula yang akhirnya membuatku lupa segalanya. Aku..., aku malu mengatakannya sama kamu, Ndo.Tapi, kalau aku tidak menceritakannya, hal itu akan tetap membatu dalam dadaku yang akan membuat nafasku semakin sesak.”
”Jika itu bisa meringankan beban batin Bapak, ceritakanlah! tak perlu malu,Pak.”
”Walaupun aku sudah tua, aku tak mau kalah dengan yang muda-muda. Aku ingin tetap dianggap gaul dan modern. Karena ingin dianggap modern dan gaul, aku telah mencoba berbagai minuman keras dari yang murah hingga yang high class. Dalam keadaan tak sadar itulah, aku sering memukul dan menganiaya istriku tanpa kesalahan apapun. Karena ingin dianggap gaul dan modern pula, aku punya banyak wanita selingkuhan yang cantik-cantik dan muda-muda, bahkan lebih muda dari usia anak perempuanku. Karena ingin dianggap gaul dan modern pula, aku si wong deso inipun telah terjebak narkoba.Aku juga telah....”
Aku hanya bisa terdiam memandang keresahan yang terpancar dari matanya. Aku tetap berusaha menjadi pendengar yang baik, walaupun aku belum sepenuhnya mengerti apa yang ia bicarakan.
”Pokoknya aku telah hancur! Benar-benar manusia bodoh yang menghancurkan dirinya sendiri!Aku tidak mengerti mengapa Tuhan tidak membunuhku saja? Aku benar-benar ingin mati, tapi...aku juga takut bunuh diri.”
”Pak, kenapa Bapak sampai putus asa seperti itu? Tuhan tidak pernah menyiksa hamba-Nya. Sebesar apapun dosa Bapak, insya Allah akan selalu mendapat pintu maaf.”
”Tapi rasanya tidak mungkin bagiku. Dosaku terlalu besar. Bagaimana aku tidak putus asa? jika sekarang saja...aku sudah merasakan hidupku benar-benar tersiksa. Karena narkoba, aku telah...menghabiskan harta kiriman anak-anakku, aku telah menjual rumahku satu-satunya, aku juga telah menyiksa dan mengusir istriku yang setia. Dalam keadaan sakit dan renta, ia meninggalkan aku yang kesetanan sambil menangis. Mata yang tabah itu terlalu sering aku buat menangis. Sekarang...sekarang aku tidak tahu dia pergi ke mana?Masih hidup ataukah sudah mati?Coba pikir, apakah Tuhan masih mau menerima taubat suami bejad seperti aku?Sekarang...sekarang saja aku benar-benar merasa dibiarkan-Nya sendirian. Tanpa istri, tanpa anak, tanpa cucu, tanpa rumah, hidup menumpang karena belas kasihan seorang teman yang menjadi tukang kebun. Hanya dia yang masih mau mengakui aku sebagai teman. Semua orang tak ada lagi yang mau percaya padaku.Aku tidak tahu lagi di mana istriku, di mana anakku, di mana cucuku. Aku hanya bisa menunggu dan menunggu saat itu akan tiba.Oleh karena itu, aku selalu duduk di halte ini, aku berharap bisa bertemu mereka, walaupun aku tidak tahu apakah mereka masih mau memaafkan dan menerimaku kembali. Aku akan benar-benar berlutut di hadapan mereka, memohon kepada mereka agar mereka tetap mau menjadi keluargaku yang utuh kembali,”ujarnya lirih. Kini aku mulai mengerti sikap anehnya di halte ini.
”Pak, apakah anak Bapak masih mengirimkan uang ke rumah Bapak yang lama?”
”Setelah rumah itu di jual, Bapak cuma dengar kalau mereka pernah mencari Bapak dan ibunya karena uang kiriman mereka selalu dikembalikan. Tapi Bapak nda pernah ketemu mereka. Mereka juga mungkin sudah dengar tentang kelakuan Bapak dan nasib ibu mereka.Bapak nda pernah ketemu mereka lagi.”
to be continued....
Dari hari ke hari selalu kulihat hal yang sama. Sempat terlintas di benakku, mungkinkah ia orang yang sakit jiwa? Tapi rasanya tak mungkin. Pakaian dan badannya tetap terawat apik. Rasa ingin tahuku menyeruak memenuhi relung hatiku. Sampai suatu saat kusempatkan diri menghampirinya.
”Pagi, Pak?”
”Pagi....”
”Maaf, Pak? Siapa yang sedang Bapak tunggu di sini?”
”Maksud Mbak?”
”Maaf loh Pak, saya cuma heran kenapa Bapak selalu duduk di sini sejak saya berangkat kerja sampai saya pulang kerja. Sebenarnya apa yang Bapak lakukan di sini?”
”Mbak wartawan ya? Mau tahu saja urusan orang!”jawabnya sinis. Merah telingaku mendengarnya.
”Maaf loh, Pak. Saya bertanya karena Bapak seumuran Bapak saya. Saya kira Bapak sedang menunggu anaknya, barangkali saya bisa bantu,” kataku agak kesal. Segera saja aku beranjak dari tempat itu.
”Eeh Mbak tunggu! Mungkin memang Mbak yang bisa menolong saya!”cegahnya sambil menarik tasku.
”Maaf,” kali ini suaranya lembut sambil melepaskan tasku.
”Betul Mbak mau menolong saya?”
”Ya, kalau saya bisa. Apa yang bisa saya bantu?”
Dia terdiam sesaat seakan hatinya ragu.
”Apa Bapak perlu uang?”
Hanya gelengan kepala sebagai sebuah jawaban.
”Katakan saja, Pak, jangan ragu atau malu, saya ikhlas menolong Bapak”
Matanya menatap tajam seolah ingin meyakinkan hatinya akan kebenaran ucapanku.
”Saya hanya perlu teman bicara,” jawabnya lirih.
”Maksud Bapak teman curhat?”
Dia hanya mengangguk lemah.
Ya ampun, ni Bapak bengong sendirian cuma mau cari teman curhat? O, my God! Sesulit itukah mencari teman curhat di zaman sekarang? Ataukah semua orang memakai topeng - topeng kepalsuan, sehingga tak ada seorangpun yang dapat dipercaya?Ataukah semua orang sudah tenggelam dalam keegoisan?
”Mbak, Mbak maukan jadi teman curhat saya?”
”Eh, ya,ya, Pak, dengan senang hati,” kutergagap karena sedang asyik dengan pikiranku sendiri.
”Sebenarnya saya masih punya istri, punya anak, Mbak, satu laki-laki, satu perempuan,”ujarnya memulai cerita.
”Tapi, mereka sudah menikah, bahkan sudah punya anak. Mereka sudah punya rumah sendiri. Mereka bekerja di sebuah perusahaan asing di kota Tangerang sana. Tapi, mungkin karena mereka terlalu sibuk, mereka tidak pernah sempat main ke rumah kami, bahkan meneleponpun tidak pernah. Tapi, bukan berarti mereka melupakan kami. Tiap bulan mereka selalu mengirimi kami uang puluhan juta. Awalnya kami senang karena berlimpah harta, apa lagi awalnya kami biasa hidup dengan kesengsaraan, tapi...,” kembali dia menghela napas panjang.
”Kenyataannya, justru harta itu pula yang membawa bencana dalam kehidupan kami,” kembali dia tertunduk diam sesaat seolah menahan sesuatu yang amat berat.
”Maksud Bapak?”tanyaku penasaran.
Lagi-lagi dia hanya menghela nafas seolah begitu sulit mengeluarkan sesuatu yang berkecamuk dalam dadanya.
”Uang kiriman itu kami kumpulkan hingga jumlahnya sangat banyak. Aku dan istriku selalu bersenang-senang setiap hari. Kami berbelanja berbagai barang mewah yang tak pernah kami miliki sebelumnya. Kami juga mencoba berbagai fasilitas yang tak pernah kami rasakan sebelumnya.Hidup kami benar-benar serasa di surga walaupun kami hanya berdua saja, tanpa kehadiran anak dan cucu kami. Tapi, hal itu pulalah yang membuatku lupa diri. Aku telah melupakan kesetiaan istriku yang telah kupinang ketika usianya masih 14 tahun. Begitu lama dia menyertaiku, dalam segala susah dan senangku tanpa ada sedikitpun keluhan yang keluar dari bibirnya. Ah, bodohnya aku! Aku memang benar-benar bodoh!Aku telah berbuat kesalahan besar yang telah begitu menyakitinya. Aku memang laki-laki bodoh!” Ujarnya sambil memukul-mukul kepalanya dengan penuh rasa penyesalan.
Setelah dia agak tenang, akupun kembali bertanya,”Mengapa Bapak merasa bodoh?Apa yang telah Bapak lakukan?”
”Aku telah menyakiti hati istriku yang setia, yang selalu menganggapku sebagai laki-laki sempurna walaupun aku sendiri merasa begitu banyak kekuranganku sebagai suami. Dia wanita yang benar-benar hebat di balik kerapuhannya, dan aku adalah laki-laki lemah yang tidak pantas jadi suaminya,” lagi dia tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
”Maaf Pak, aku masih belum mengerti.”
”Ya, tidak semua orang bisa mengerti persoalanku yang sebesar gunung, bahkan mungkin lebih besar lagi dari sebuah gunung. Gunung yang telah membatu dalam dadaku. Aku tidak menuntut kamu untuk mengerti persoalanku, aku hanya perlu seorang teman yang mau mendengarkan ocehanku. Aku percaya sama kamu, Ndo. Cahaya matamu menunjukkan kejujuranmu. Tidak seperti kebanyakan orang yang hanya mau didengarkan ocehannya tapi tidak mau mendengarkan ocehan orang lain. Orang yang hanya bisa menertawakan kemalangan orang lain sebagai sebuah cerita lucu tapi tidak bisa merasakan sakitnya luka orang yang ditimpa kemalangan itu.”
”Saya akan coba untuk tetap mengerti, Pak. Apa sebenarnya yang telah Bapak lakukan terhadap istri Bapak?”
”Harta..., dengan harta kiriman anak-anakku itulah aku menyakiti istriku. Yang awalnya harta itu kami nikmati bersama, namun harta itu pula yang akhirnya membuatku lupa segalanya. Aku..., aku malu mengatakannya sama kamu, Ndo.Tapi, kalau aku tidak menceritakannya, hal itu akan tetap membatu dalam dadaku yang akan membuat nafasku semakin sesak.”
”Jika itu bisa meringankan beban batin Bapak, ceritakanlah! tak perlu malu,Pak.”
”Walaupun aku sudah tua, aku tak mau kalah dengan yang muda-muda. Aku ingin tetap dianggap gaul dan modern. Karena ingin dianggap modern dan gaul, aku telah mencoba berbagai minuman keras dari yang murah hingga yang high class. Dalam keadaan tak sadar itulah, aku sering memukul dan menganiaya istriku tanpa kesalahan apapun. Karena ingin dianggap gaul dan modern pula, aku punya banyak wanita selingkuhan yang cantik-cantik dan muda-muda, bahkan lebih muda dari usia anak perempuanku. Karena ingin dianggap gaul dan modern pula, aku si wong deso inipun telah terjebak narkoba.Aku juga telah....”
Aku hanya bisa terdiam memandang keresahan yang terpancar dari matanya. Aku tetap berusaha menjadi pendengar yang baik, walaupun aku belum sepenuhnya mengerti apa yang ia bicarakan.
”Pokoknya aku telah hancur! Benar-benar manusia bodoh yang menghancurkan dirinya sendiri!Aku tidak mengerti mengapa Tuhan tidak membunuhku saja? Aku benar-benar ingin mati, tapi...aku juga takut bunuh diri.”
”Pak, kenapa Bapak sampai putus asa seperti itu? Tuhan tidak pernah menyiksa hamba-Nya. Sebesar apapun dosa Bapak, insya Allah akan selalu mendapat pintu maaf.”
”Tapi rasanya tidak mungkin bagiku. Dosaku terlalu besar. Bagaimana aku tidak putus asa? jika sekarang saja...aku sudah merasakan hidupku benar-benar tersiksa. Karena narkoba, aku telah...menghabiskan harta kiriman anak-anakku, aku telah menjual rumahku satu-satunya, aku juga telah menyiksa dan mengusir istriku yang setia. Dalam keadaan sakit dan renta, ia meninggalkan aku yang kesetanan sambil menangis. Mata yang tabah itu terlalu sering aku buat menangis. Sekarang...sekarang aku tidak tahu dia pergi ke mana?Masih hidup ataukah sudah mati?Coba pikir, apakah Tuhan masih mau menerima taubat suami bejad seperti aku?Sekarang...sekarang saja aku benar-benar merasa dibiarkan-Nya sendirian. Tanpa istri, tanpa anak, tanpa cucu, tanpa rumah, hidup menumpang karena belas kasihan seorang teman yang menjadi tukang kebun. Hanya dia yang masih mau mengakui aku sebagai teman. Semua orang tak ada lagi yang mau percaya padaku.Aku tidak tahu lagi di mana istriku, di mana anakku, di mana cucuku. Aku hanya bisa menunggu dan menunggu saat itu akan tiba.Oleh karena itu, aku selalu duduk di halte ini, aku berharap bisa bertemu mereka, walaupun aku tidak tahu apakah mereka masih mau memaafkan dan menerimaku kembali. Aku akan benar-benar berlutut di hadapan mereka, memohon kepada mereka agar mereka tetap mau menjadi keluargaku yang utuh kembali,”ujarnya lirih. Kini aku mulai mengerti sikap anehnya di halte ini.
”Pak, apakah anak Bapak masih mengirimkan uang ke rumah Bapak yang lama?”
”Setelah rumah itu di jual, Bapak cuma dengar kalau mereka pernah mencari Bapak dan ibunya karena uang kiriman mereka selalu dikembalikan. Tapi Bapak nda pernah ketemu mereka. Mereka juga mungkin sudah dengar tentang kelakuan Bapak dan nasib ibu mereka.Bapak nda pernah ketemu mereka lagi.”
to be continued....
Langganan:
Postingan (Atom)