West Jakarta, 2 Maret 2009
Menjadi seorang pemimpin itu sulit atau mudah ya? Mungkin beragam jawaban yang akan kita dapatkan. Yang bilang mudah, mungkin dia bilang it's oke, cuma sekedar jabatan. Yang bilang sulit, mungkin karena dia memikirkan beban tanggung jawabnya. Apapun jawabannya, bukankah setiap kita adalah pemimpin? Seorang ayah menjadi pemimpin bagi istrinya, seorang istri menjadi pemimpin bagi rumah tangganya, seorang kakak menjadi pemimpin bagi adik-adiknya. Itulah kepemimpinan dalam skala kecil. Minimal setiap kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah hanya sekedar sebuah jabatan yang meningkatkan status sosial dan ekonomi seseorang, tetapi harus diiringi dengan sebuah rasa tanggung jawab. Bukankah orang yang menumpuk-numpuk jabatan tanpa rasa tanggung jawab seperti orang yang memikul kayu bakar dipunggungnya, ditumpuk-tumpuk sampai ia keberatan karena tak sanggup lagi memikulnya?
Kadang menjadi seorang pemimpin yang bertanggung jawabpun masih menemui berbagai hambatan dalam rangka melaksanakan tanggung jawabnya. Beda orang, beda pikiran dan pendapat. Seseorang yang memimpin sekumpulan orang, tentu ia harus belajar memahami orang yang dipimpinnya. Tentu bukan hal mudah memimpin orang-orang dengan berbagai latar belakang. Apa lagi kalau orang yang dipimpinnya itu lebih senior. Rasa gengsi mungkin saja ada. Aku jadi ingat bagaimana Abu Bakar menangis ketika terpilih menjadi khalifah. Bukan menangis karena senang, tetapi takut tidak bisa menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Oleh karena itu, dalam pidatonya ia mau menerima jabatan itu sebagai amanah. Akan tetapi, ia juga minta ditegur ketika melakukan kesalahan dan jangan mengikuti kebijakannya yang menyimpang dari aturan.
Ada yang bilang menjadi seorang pemimpin yang baik harus mendengarkan semua pendapat anak buahnya. Mungkin itu benar, tetapi bukan berarti menuruti semua pendapat itu. Pendapat-pendapat itu dapat dijadikan masukan dalam rangka membuat sebuah keputusan. Aku juga jadi ingat cerita seorang ayah, anaknya dan seekor keledai yang mereka miliki. Suatu saat mereka melakukan sebuah perjalanan panjang. Sang ayah dan anak menaiki keledai itu bersama-sama. Ketika melewati sekumpulan orang, mereka berkata," Kejam sekali kalian, hewan sekecil itu dinaiki berdua!". Sang ayahpun turun, hanya sang anak yang naik ke punggung keledai itu. Merekapun melewati sekumpulan orang. Mereka berkata," Tega sekali anaknya, membiarkan ayahnya berjalan kaki, sedangkan ia naik keledai." Maka turunlah anaknya. Sekarang sang ayah yang naik keledai, anaknya berjalan kaki. Ketika melewati sekumpulan orang, mereka berkata,"Ayah macam apa kamu membiarkan anakmu berjalan kaki, sedangkan engkau naik keledai?" Ayah dan anak itupun berjalan kaki sambil menuntun keledainya. Merekapun melewati sekumpulan orang. Orang-orang itupun berkata,"Bodoh sekali mereka, mereka memiliki keledai tidak dinaiki!" Ayah dan anak itu akhirnya menyadari betapa perlunya memiliki sebuah prinsip ketika melakukan sesuatu yang benar. Mereka boleh mendengarkan pendapat-pendapat itu sebagai masukan dalam melakukan sesuatu yang benar, tanpa ditanggapi dengan rasa amarah.
Kita baru memahami orang lain setelah kita menyimak dan merenungkan apa yang mereka sampaikan. Kita belajar memahami pola pikir mereka. Kita juga belajar menerima saran dan kritik tanpa amarah dan menjadikannya bahan introspeksi diri. Kita juga memerlukan prinsip ketika kita membuat sebuah keputusan, yang terbaik adalah melalui musyawarah. Walau bagaimanapun, manusia tempatnya salah dan lupa. Oleh karena itu, sebagai sesama muslim yang bersaudara, selayaknya saling mengingatkan. Kita mungkin tidak bisa menjadi pemimpin yang sempurna, tetapi kita bisa berusaha menjadi pemimpin yang terbaik. Terbaik di mata manusia, terbaik pula di hadapan Allah.
2 komentar:
Pa kabar if.. terus berkarya... tulisan paapun akan ada gunanya..btw pemimpin yang baik itu yaa rasulullah...maka contohlah beliau.
alhamdulillah baik, thank u banget buat dukungannya slalu, sobat....
Posting Komentar