Jakarta, 9 Maret 2009
Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati. Tak terasa pula kita telah bertemu kembali dengan peringatan maulid Nabi yang kesekian kalinya. Beragam cara dilakukan orang untuk merayakannya. Nuansanya bergema ke seluruh pelosok. Ada yang menganggapnya mulutan karena banyak makanan, berkah kata orang. Ada pula yang menganggapnya muludan karena menekankan peringatannya.
Mulutan dan muludan memang sangat dekat. Keberkahan banyaknya makanan dan keantusiasan masyarakat terhadap peringatan atau perayaannya. Semuanya seolah-olah ingin menunjukkan kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW. Ada yang rela memanjat pohon yang rantingnya dipenuhi berbagai benda, ada pula yang rela berdesak-desakan berebut gunungan atau telur yang telah didoakan.
Semuanya sudah baik. Akan tetapi, pernahkah kita merenungkan, adakah sesuatu yang paling penting dalam peringatan maulid ini? Dalam berbagai kesempatan mengikuti maulid, mungkin kita diingatkan kembali tentang perjuangan Nabi dan para sahabat. Apakah kita hanya mengenangnya? Atau merasa bangga dengan kejayaan masa lalu? Tentu tidak! Ada yang lebih penting daripada semua itu. Introspeksi diri. Mungkin itu salah satu jawabannya. Mengapa? Karena introspeksi diri tak harus selalu menyambut tahun baru. Salah satu hikmah terpenting maulid Nabi adalah kita mencoba mengintrospeksi diri kita secara jujur. Seberapa besarkah kecintaan kita terhadap Rasulullah? Apa buktinya kita telah mencintai Rasulullah?Apakah kita telah menyerap semangat juang Rasulullah? Apakah kita telah meniru dan meneladani akhlak Rasulullah yang agung?
Mungkin kita semua telah tahu jika kemuliaan Islam tertutup oleh perilaku sebagian umatnya. Ada yang sudah berhaji ternyata koruptor, ada pula yang sedang ramai dibicarakan orang saat ini terlibat aborsi. Mungkin orang-orang intelek akan mengatakan semua tergantung individunya. Haji ada dua, ada yang mabrur dan ada yang mardud. Mabrur yang hajinya diterima Allah dan kebaikannya berkelanjutan. Mardud yaitu haji yang berkelakuan buruk. Akan tetapi, orang-orang awam hanya melihat orang yang menyandang status haji berarti naik status sosialnya, sempurna ibadahnya, santun pula budi pekertinya. Bagaimana mereka memahami semua itu? Setiap kita bisa berdakwah. Berdakwah melalui perilaku kita sehari-hari. Dengan merenungi semua itu, dengan mengais hikmah maulid kali ini, mungkin kita bisa membuktikan kecintaan kita kepada Rasulullah nan agung.
By Vey