Batavia,27 Oktober 2008
Tuhanku, terhenyak aku mendengar kabar seorang yang dianggap kiai menikahi gadis belia berusia 12 tahun. Apalagi dia berencana pula menikahi gadis kecil lainnya yang berusia 7 dan 9 tahun. Luka hati dan jiwaku, Tuhan, kala ia mengatasnamakan-Mu dan Rasul-Mu. Pedih tak terperi di sini, dalam, sangat dalam menusuk jantungku. Dia mungkin tak menyadari betapa perbuatannya telah mencoreng Rasul-Mu, Engkau, dan ajaran-Mu. Tapi, betapa angkuhnya ia mengatasnamakan Rasul-Mu demi membenarkan perbuatannya. Ya Allahku, tak pernah rela hatiku kala Rasulku yang agung dicoreng oleh orang yang mengaku umatnya?
Ya Allahku, bukankah tugas seorang kiai adalah menjadi teladan bagi pengikutnya?Aku jadi ingat, aku pernah menegur suamiku agar jangan mau dipanggil ustadz karena berat beban moral dan ujiannya. Suamiku hanya bilang,”Mi, ayah tidak pernah minta dipanggil ustadz. Kalau satu dua orang mungkin bisa ayah beri tahu, tapi tidak mungkin semuanya ayah beritahu kan?” Dari jawaban suamiku, aku menyimpulkan bahwa masyarakatlah yang memberi penilaian apakah orang itu ustadz, kiai atau ulama. Dengan adanya kejadian ini, pantaskah ia disebut seorang kiai? Orang yang telah mencoreng nama Rasulku yang agung. Orang yang tidak memberikan teladan bagi masyarakatnya? Ia beralasan bahwa ia menikahi gadis 12 tahun sama seperti Rasulullah menikahi Aisyah. Tidak tahukah ia betapa postur tubuh anak-anak Arab Saudi berbeda dengan anak-anak negeri ini? Tak tahukah ia dampak psikologis yang diderita anak itu? Bukankah itu sebuah kedzaliman yang dilakukan terhadap orang yang lemah?
Katanya ia mengikuti jejak Rasulku yang agung, tapi tahukah ia, Rasulku seorang penyayang terhadap orang-orang yang lemah? Bahkan kepada seekor burung yang sakit. Aku ingat, aku pernah membaca sebuah buku bahwa Rasul melihat seorang anak yang menangis. Iapun menghampirinya.Ternyata burung peliharaannya sakit. Rasulpun mengajak anak itu untuk menjenguk burung peliharaannya itu. Lain buku pula aku pernah membaca bahwa Rasul melihat seorang anak menangis ketika semua orang bergembira pada hari raya idul fitri. Beliaupun menghampirinya. Ternyata ia menangis karena ia seorang yatim. Ia sedih karena tak punya baju baru dan bergembira bersama ayahnya seperti teman-temannya. Rasulpun memberinya baju baru dan mengatakan bahwa beliaulah yang menjadi ayahnya. Anak yang tadi menangis itupun menjadi gembira. Itulah Rasulullah yang memberi kegembiraan kepada anak-anak dan menghapus kesedihannya, yang mengubah air mata anak-anak menjadi tawa. Bukan seperti yang dilakukan orang itu. Dia merampas kegembiraan seorang anak dan mengubahnya menjadi air mata. Membungkam minat, bakat dan tumbuh kembangnya. Mengapa ia bergembira di atas penderitaan seorang anak?
Ya Allahku, bukankah tugas seorang kiai adalah menjadi teladan bagi pengikutnya?Aku jadi ingat, aku pernah menegur suamiku agar jangan mau dipanggil ustadz karena berat beban moral dan ujiannya. Suamiku hanya bilang,”Mi, ayah tidak pernah minta dipanggil ustadz. Kalau satu dua orang mungkin bisa ayah beri tahu, tapi tidak mungkin semuanya ayah beritahu kan?” Dari jawaban suamiku, aku menyimpulkan bahwa masyarakatlah yang memberi penilaian apakah orang itu ustadz, kiai atau ulama. Dengan adanya kejadian ini, pantaskah ia disebut seorang kiai? Orang yang telah mencoreng nama Rasulku yang agung. Orang yang tidak memberikan teladan bagi masyarakatnya? Ia beralasan bahwa ia menikahi gadis 12 tahun sama seperti Rasulullah menikahi Aisyah. Tidak tahukah ia betapa postur tubuh anak-anak Arab Saudi berbeda dengan anak-anak negeri ini? Tak tahukah ia dampak psikologis yang diderita anak itu? Bukankah itu sebuah kedzaliman yang dilakukan terhadap orang yang lemah?
Katanya ia mengikuti jejak Rasulku yang agung, tapi tahukah ia, Rasulku seorang penyayang terhadap orang-orang yang lemah? Bahkan kepada seekor burung yang sakit. Aku ingat, aku pernah membaca sebuah buku bahwa Rasul melihat seorang anak yang menangis. Iapun menghampirinya.Ternyata burung peliharaannya sakit. Rasulpun mengajak anak itu untuk menjenguk burung peliharaannya itu. Lain buku pula aku pernah membaca bahwa Rasul melihat seorang anak menangis ketika semua orang bergembira pada hari raya idul fitri. Beliaupun menghampirinya. Ternyata ia menangis karena ia seorang yatim. Ia sedih karena tak punya baju baru dan bergembira bersama ayahnya seperti teman-temannya. Rasulpun memberinya baju baru dan mengatakan bahwa beliaulah yang menjadi ayahnya. Anak yang tadi menangis itupun menjadi gembira. Itulah Rasulullah yang memberi kegembiraan kepada anak-anak dan menghapus kesedihannya, yang mengubah air mata anak-anak menjadi tawa. Bukan seperti yang dilakukan orang itu. Dia merampas kegembiraan seorang anak dan mengubahnya menjadi air mata. Membungkam minat, bakat dan tumbuh kembangnya. Mengapa ia bergembira di atas penderitaan seorang anak?
Apakah itu yang diajarkan Rasulullah? Tidak! Sama sekali tidak!Jika benar ia ingin mengangkat derajat anak itu, tentu bukan dengan cara menikahinya. Masih banyak cara lain yang lebih mulia, mulia di hadapan manusia juga mulia di hadapan-Mu,Tuhanku.Apakah ia tak tahu pepatah orang tua, ”Di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak,” Setiap tempat memiliki adat kebiasaan berbeda. Satu hal lagi, mungkin akan ada dosa beruntun ke generasi berikutnya. Saat ini, mungkin anak itu tak bisa melawan karena ketidakberdayaannya, tapi apakah keyakinannya dalam jiwa kecilnya kepada Engkau, wahai Tuhan, takkan tergoyah? Atau kelemahan itu akan menumbuhkan benih dendam yang terlampiaskan kepada anak-anaknya? Tak terbayangkan, entah berapa korban yang akan berjatuhan akibat ego segelintir orang.
Hanya satu yang kupercaya saat ini, Engkau akan buktikan yang hak itu hak, yang bathil itu bathil. Dalam sebuah hadits aku pernah membaca,” Ciri orang mu’min sejati adalah orang yang aman orang-orang sekitarnya dari lidah dan tangannya.” Selama orang itu melakukan kedzaliman kepada saudaranya yang lemah, maka ia bukanlah seorang mu’min sejati, walaupun ia memiliki segudang gelar terhormat. Kuharap, Engkau, wahai Allahku, akan membimbing orang itu untuk lebih banyak lagi membaca tentang sejarah hidup Rasul-Mu. Dengan izin-Mu pula, aku berharap Engkau selamatkan anak itu dari kedzaliman orang-orang dewasa agar ia tumbuh menjadi salah satu hamba-Mu yang berkualitas. Aamiin.
Hanya satu yang kupercaya saat ini, Engkau akan buktikan yang hak itu hak, yang bathil itu bathil. Dalam sebuah hadits aku pernah membaca,” Ciri orang mu’min sejati adalah orang yang aman orang-orang sekitarnya dari lidah dan tangannya.” Selama orang itu melakukan kedzaliman kepada saudaranya yang lemah, maka ia bukanlah seorang mu’min sejati, walaupun ia memiliki segudang gelar terhormat. Kuharap, Engkau, wahai Allahku, akan membimbing orang itu untuk lebih banyak lagi membaca tentang sejarah hidup Rasul-Mu. Dengan izin-Mu pula, aku berharap Engkau selamatkan anak itu dari kedzaliman orang-orang dewasa agar ia tumbuh menjadi salah satu hamba-Mu yang berkualitas. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar